Gunung Penanggungan memang tak setenar Mahameru dengan puncak
tertingginya dan Kawah Jogring Saloko. Tak segagah Gunung Arjuna dengan
Puncak Ogal-agil yang bersanding dengan Gunung Welirang yang setiap saat
mengepulkan asap dari kawah belerangnya. Gunung Penanggungan
berdampingan dengan Gunung Arjuna dan Gunung Welirang, dengan berbagai
situs-situs peninggalan zaman Kerajaan Airlangga, dan Majapahit menambah
sensasi saat pendakian.
Gunung Penanggungan dengan ketinggian
1.653 mdpl merupakan gunung berapi tidur, salah satu deretan pegunungan
Arjuna-Welirang yang terletak di Kabupaten Mojokerto, Jawa timur.
Berjarak kurang lebih 50 KM dari Surabaya, Gunung Penanggungan juga
disebut sebagai replika Mahameru. Puncak gunung ini menyerupai Gunung
Semeru yang terletak di Kabupaten Lumajang dan konon menurut legenda
merupakan penggalan dari puncak Gunung Semeru.
Pendakian ke
puncak Gunung Penanggungan kurang lebih memakan waktu sekitar 4 sampai 5
jam, apabila kita tempuh dari jalur Tamiajeng. Sebelum kita mendaki
gunung ini, kita wajib lapor dulu di pos perizinan yang letaknya tepat
di samping Kampus Ubaya Tretes. Berbeda dengan pos pada umumnya yang ada
di jalur pendakian, pos pendakian di sini berupa warung, namanya warung
bu Indah, nama dari sang pemilik warung. Untuk biaya retribusi hanya Rp
5.000 per orang.
Setelah semua urusan administratif selesai,
kita langsung saja jalan menuju puncak Gunung Penanggungan. Di sepanjang
jalur tidak ada sama sekali sumber air, jadi kita harus mempersiapkan
pasokan air dari pos perizinan. Udara sangatlah panas di sepanjang jalur
ini, apabila kita daki pada siang hari, jadi siap-siap bawa air yang
banyak, sebelum Anda terkena dehidrasi.
Di awali dengan kebun
tebu dan jagung penduduk, sekitar 30 menit sampai 1 jam kita akan mulai
memasuki hutan. Jalanan pun semakin menanjak dan akan banyak menguras
tenaga, mengingat udara yang cukup panas dan tanjakan-tanjakan yang tak
kenal diskon.
Setelah berjalan hampir lebih tiga jam, kita akan
sampai di Puncak Bayangan, tempat di mana para pendaki beristirahat
untuk melepas lelah. Sebuah hamparan tanah yang luas cukup untuk
beberapa tenda, dengan pemandangan gagah Gunung Arjuno dan Gunung
Welirang membuat kaki ini tak ingin beranjak meninggalkan tempat ini.
Para pendaki biasanya hanya mendaki sampai di sini saja, dan dilanjutkan
keesokan harinya menuju puncak Gunung Penanggungan.
Karena dari
sini kita sudah bisa mendapatkan view yang cukup indah apabila cuaca
sedang cerah tanpa kabut. Jika malam tiba, kita bisa melihat gemerlap
lampu-lampu di Pandaan, Trawas dan Tretes. Hampir di setiap akhir pekan
gunung ini tak pernah sepi dari para pendaki, mungkin karena lokasinya
yang strategis dan tak seberapa jauh dari kota Surabaya .
Dari Puncak Bayangan menuju Puncak Penanggungan tidaklah seberapa jauh, cukup kurang lebih 1 jam perjalanan,
kita sudah akan sampai puncak tertinggi dari puncak Gunung
Penanggungan. Jalanan yang amat curam dengan batuan cadas mendominasi
sepanjang jalur menuju puncak utama dari Gunung Penanggungan ini. Rasa
lelah akan terbayar lunas dengan pemandangan yang begitu indah. Sisi
utara punya pemandangan Kota Surabaya dengan Selat Maduranya, sisi
Selatan punya hamparan Gunung Arjuna yang bersanding dengan Gunung
Welirang. Apabila cuaca sedang bersahabat, kita pun juga akan bisa
melihat gunung tertinggi di Pulau Jawa, yaitu Gunung Semeru.
Perjalanan
kali ini saya mengambil jalur turun melewati sisi utara, atau jalur
Petirtaan Jolotundo, jalur yang lebih panjang dan lama. Namun akan
banyak kita jumpai situs purbakala apabila kita mendaki melalui jalur
Jolotundo. Hampir sepanjang jalur terdapat situ-situs purbakala
peninggalan zaman kerajaan dan peralihan masa Buddha ke Hindu, dari
situs peninggalan Kerajaan Airlangga dan Majapahit.
Salah satu
situs yang cukup ramai dikunjungi wisatawan ialah situs pemandian
Jolotundo, situs pemandian peninggalan zaman Kerajaan Airlangga yang
airnya tidak pernah mengering. Konon menurut cerita petugas, air di
sumber pemandian Jolotundo ini merupakan air yang terjernih ke-2 di
dunia. Itu berdasarkan data seorang peneliti dari Jepang yang sedang
melakukan penelitian tentang situs-situs purbakala di sini.
Senin, 07 Oktober 2013
CANDI JALANTUNDO trawas jawa timur
Candi Jalatunda, candi sekaligus patirtan atau pemandian kuno yang
dibangun pada tahun 899-977 Masehi. Masih tetap berfungsi dan
mengalirkan airnya hingga sekarang. Terletak di kaki gunung Penanggungan
tetapnya disisi barat, 7 kilometer dari arah sebelah utara Trawas.
Candi ini hanya satu diantara puluhan candi (konon mencapai 81 candi) yang berserakan sampai ke puncak Gunung Penanggungan.
Pada waktu Kerajaan Mataram Kuno dari wangsa Isana dengan raja bernama Dharmawangsa Teguh (991-1016 Masehi) hancur akibat serangan kerajaan Wurawari dari daerah Banyumas di Hulu Sungai Serayu (Jawa Tengah) dalam tahun 1016 Masehi, menentu raja yang bernama Airlangga beserta istrinya mengungsi ke Wanagiri dengan diiringi Rakryan Narotama sahabat setianya. Setelah Airlangga menjadi raja Mataram (1016-1042) lalu mengundurkan diri menjadi pertapa pada tahun 1042 Masehi dengan nama Resi Gentayu sampai wafat pada tahun 1049 dan dimakamkan di Tirtha, tempat pemandian Jalatunda dekat desa Belahan di sebelah timur Gunung Penanggungan.
Tentang Candi Jalatunda masyarakat sekitarnya percaya bahwa air yang mengalir di pancuran pada patirtan ini adalah amerta (air keabadian) karena berasal dari Gunung Penanggungan yang dianggap sebagi puncak alam semesta, yakni swarloka tempat bersemayamnya para dewa. Anggapan masyarakat ini diperkuat oleh oleh adanya peninggalan Hindu ini dengan adanya arca Wisnu yang berada dibagian tengah pemandian atau pathirtan ini yang dianggap sebagai dewa kesejahteraan manusia. Dalam konsep agama Hindu bahwa Dewa Wisnu selaku dewa pemelihara yang melangsungkan kehidupan alam semesta. Dewa ini mempunyai kendaraan berupa burung garuda bernama suparna. Didalam kitab Rig Weda yang dimaksud suparna adalah atribut matahari yang menunjukkan bahwa asal-usul Wisnu sebagai Dewa Matahari yang memiliki “sakti” atau istri bernama Laksmi atau Sri yakni dewi kebahagiaan. Dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara, penyelenggara dan pelindung dunia digambarkan selalu dalam keadaan siap untuk memberantas marabahaya yang mengancam keselamatan dunia. Dalam upaya mengatasi marabahaya yang merajalela dan kehancuran dunia, maka Wisnu akan turun ke dunia dalam bentuk penjelmaan (awatara) sesuai dengan jenis marabahaya yang ada. Diceritakan ada 10 awatara (dasawatara). Contoh, awatara ke-10 yang konon belum terjadi Wisnu turun ke dunia menjelma sebagai Kalki-awatara ketika dunia akan mengalami suasana yang kacau balau tanpa diatasi, sehingga keselamatan dunia terancam akan kemusnahan. Dalam situasi yang demikian Wisnu akan turun dan menjelma ke dunia sebagai Kalki dengan mengendarai kuda putih bersenjatakan pedang yang terhunus. Kemudian Kalki dengan segala kemampuannya menyelamatkan, menegakkan kembali keadilan dan kesejahteraan dunia beserta isinya.
Masyarakat di Mojokerta dan sekitarnya juga percaya bahwa air di Jalatunda itu air yang bertuah. Menurut mitos yang berkembang orang yang minum dan mandi dari jaladwara (pancuran air) itu dapat membuat orang jadi awet muda dan bisa membebaskan dirinya dari pikiran yang kacau.
Masyarakat Hindu Bali hingga kini masih sering melalukan upacara untuk membersihkan diri dari dosa pada hari-hari tertentu di Patirtan Jalatunda. Bahkan ada yang membawa tirta amerta (air keabadian) ini dibawa ke Bali untuk upacara keagamaan.
cs :https://www.couchsurfing.org/
Supported byFLIGHT 001 Gandaria City | Plaza Indonesia
https://www.facebook.com/Flight001Asia
Candi ini hanya satu diantara puluhan candi (konon mencapai 81 candi) yang berserakan sampai ke puncak Gunung Penanggungan.
Pada waktu Kerajaan Mataram Kuno dari wangsa Isana dengan raja bernama Dharmawangsa Teguh (991-1016 Masehi) hancur akibat serangan kerajaan Wurawari dari daerah Banyumas di Hulu Sungai Serayu (Jawa Tengah) dalam tahun 1016 Masehi, menentu raja yang bernama Airlangga beserta istrinya mengungsi ke Wanagiri dengan diiringi Rakryan Narotama sahabat setianya. Setelah Airlangga menjadi raja Mataram (1016-1042) lalu mengundurkan diri menjadi pertapa pada tahun 1042 Masehi dengan nama Resi Gentayu sampai wafat pada tahun 1049 dan dimakamkan di Tirtha, tempat pemandian Jalatunda dekat desa Belahan di sebelah timur Gunung Penanggungan.
Tentang Candi Jalatunda masyarakat sekitarnya percaya bahwa air yang mengalir di pancuran pada patirtan ini adalah amerta (air keabadian) karena berasal dari Gunung Penanggungan yang dianggap sebagi puncak alam semesta, yakni swarloka tempat bersemayamnya para dewa. Anggapan masyarakat ini diperkuat oleh oleh adanya peninggalan Hindu ini dengan adanya arca Wisnu yang berada dibagian tengah pemandian atau pathirtan ini yang dianggap sebagai dewa kesejahteraan manusia. Dalam konsep agama Hindu bahwa Dewa Wisnu selaku dewa pemelihara yang melangsungkan kehidupan alam semesta. Dewa ini mempunyai kendaraan berupa burung garuda bernama suparna. Didalam kitab Rig Weda yang dimaksud suparna adalah atribut matahari yang menunjukkan bahwa asal-usul Wisnu sebagai Dewa Matahari yang memiliki “sakti” atau istri bernama Laksmi atau Sri yakni dewi kebahagiaan. Dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara, penyelenggara dan pelindung dunia digambarkan selalu dalam keadaan siap untuk memberantas marabahaya yang mengancam keselamatan dunia. Dalam upaya mengatasi marabahaya yang merajalela dan kehancuran dunia, maka Wisnu akan turun ke dunia dalam bentuk penjelmaan (awatara) sesuai dengan jenis marabahaya yang ada. Diceritakan ada 10 awatara (dasawatara). Contoh, awatara ke-10 yang konon belum terjadi Wisnu turun ke dunia menjelma sebagai Kalki-awatara ketika dunia akan mengalami suasana yang kacau balau tanpa diatasi, sehingga keselamatan dunia terancam akan kemusnahan. Dalam situasi yang demikian Wisnu akan turun dan menjelma ke dunia sebagai Kalki dengan mengendarai kuda putih bersenjatakan pedang yang terhunus. Kemudian Kalki dengan segala kemampuannya menyelamatkan, menegakkan kembali keadilan dan kesejahteraan dunia beserta isinya.
Masyarakat di Mojokerta dan sekitarnya juga percaya bahwa air di Jalatunda itu air yang bertuah. Menurut mitos yang berkembang orang yang minum dan mandi dari jaladwara (pancuran air) itu dapat membuat orang jadi awet muda dan bisa membebaskan dirinya dari pikiran yang kacau.
Masyarakat Hindu Bali hingga kini masih sering melalukan upacara untuk membersihkan diri dari dosa pada hari-hari tertentu di Patirtan Jalatunda. Bahkan ada yang membawa tirta amerta (air keabadian) ini dibawa ke Bali untuk upacara keagamaan.
cs :https://www.couchsurfing.org/ profile.html?id=5HGH60EVU
Supported byFLIGHT 001 Gandaria City | Plaza Indonesiahttps://www.facebook.com/Flight001Asia
Jumat, 26 April 2013
gunung panderman
Satu lagi gunung yang berada di kota Batu, Gunung Panderman. Gunung ini terkenal juga di negeri Belanda, karena nama Panderman diambil dari nama seorang Belanda Van Der Man, yang mengagumi keindahan gunung tersebut pada masanya.
Gunung Panderman memiliki tinggi 2000 meter dari permukaan laut. Bagi mereka yang suka akan tantangan dan kegiatan di luar ruangan, dibutuhkan waktu 3 jam untuk mendaki puncak gunung tersebut, dan bisa diakses melaui kota Batu.
Pos pemberhentian pertama saat akan menuju ke Gunung Panderman adalah kawasan Latar Ombo, yaitu sebuah kawasan untuk bumi perkemahan. Pos pemberhentian kedua setelah Latar Ombo adalah kawasan Watu Gede. Dinamakan Watu Gede karena terdapat sebuah Batu Besar di kawasan ini, dan pengunjung bisa menikmati suasana yang sejuk dan pemandangan yang indah kota Malang dan Batu.
Langganan:
Postingan (Atom)