Minggu, 13 April 2014

pantai bandealit (taman nasional meru betiri)

Bandealit merupakan salah satu tujuan wisata alam minat khusus yang ada di Taman Nasional Meru Betiri yang lokasinya berada di kabupaten Jember bagian selatan. Salah satu potensi yang diminati adalah pantainya yang alami dan bersih. Selain itu, masih banyak potensi yang menarik untuk dinikmati. Atraksi wisata yang dapat dinikmati antara lain demplot penangkaran rusa timor. Tepat di depan kandang rusa timor terdapat green house anggrek. Banyak koleksi bunga anggrek yang ada di Taman Nasional Meru Betiri dipamerkan di green house ini. Bagi pecinta bunga anggrek pasti akan menyukai tempat ini, karena banyak bunga anggrek langka yang tidak ditemui di tempat lain ada disini.

Pantai Bandealit yang eksotik
Pengunjung dapat bermain bodysurfing yang alatnya telah disediakan di sana. Permainan ini cukup aman bagi pemula, karena ombaknya yang teratur dan tidak terlalu besar. Banyak perahu nelayan yang bersandar di pantai Bandealit ini, sehingga bagi pengunjung yang ingin merasakan ikan bakar segar dapat langsung pesan di nelayan lokal.
Sebelah timur pantai Bandealit terdapat muara sungai yang luas menyerupai danau. Muara sungai (danau) ini ditumbuhi vegetasi mangrove dengan dominasi jenis Pedada (Sonneratia caseolaris). Di tepi muara ini berdiri pondok wisata. Lokasi penginapan di Bandealit ini cukup menarik karena menghadap ke hutan mangrove dan berada di atas danau Bandealit. Walaupun dekat pantai tetapi air di penginapan ini tawar karena diambil dari mata air pegunungan.

Di muara sungai bagian timur pengunjung dapat melakukan aktifitas pengamatan burung, berkano atau menyusuri sungai menggunakan speedboat. Kondisi muara sungai bandealit ini cukup aneh, karena hanya pada musim kemarau banyak airnya dan menggenang menjadi danau, tetapi pada musim penghujan justru airnya kering yang tidak bisa untuk bermain kano dan speedboat.

Formasi hutan mangrove di muara sungai ini cukup luas, yaitu sekitar 8 ha. Muara sungai ini berair payau karena dipengaruhi pasang surut air laut.
Obyek wisata Bandealit dapat dijangkau melalui rute yaitu :
Surabaya - Jember - Tempurejo/Ambulu - Andongrejo - Bandealit
Jalur tersebut dapat dilewati wisatawan dengan kendaraan roda empat
- Surabaya ke Jember 200 km / 5 jam
- Jember ke Tempurejo/Ambulu 25 km / 1 jam
- Tempurejo/Ambulu ke Andongrejo 20 km / 0,5 jam
- Andongrejo ke Bandealit 14 km / 1 jam (Khusus jalur ini direkomendasikan menggunakan mobil 4WD atau sejenisnya
.
Fasilitas yang tersedia :
- Pondok wisata
- Area parkir
- MCK
- Camping ground
- Bodyboard
- Genset
- Solar cell
- Shelter
- Kano
- Speedboat












Senin, 07 Oktober 2013

gunung penanggungan

Gunung Penanggungan memang tak setenar Mahameru dengan puncak tertingginya dan Kawah Jogring Saloko. Tak segagah Gunung Arjuna dengan Puncak Ogal-agil yang bersanding dengan Gunung Welirang yang setiap saat mengepulkan asap dari kawah belerangnya. Gunung Penanggungan berdampingan dengan Gunung Arjuna dan Gunung Welirang, dengan berbagai situs-situs peninggalan zaman Kerajaan Airlangga, dan Majapahit menambah sensasi saat pendakian.

Gunung Penanggungan dengan ketinggian 1.653 mdpl merupakan gunung berapi tidur, salah satu deretan pegunungan Arjuna-Welirang yang terletak di Kabupaten Mojokerto, Jawa timur. Berjarak kurang lebih 50 KM dari Surabaya, Gunung Penanggungan juga disebut sebagai replika Mahameru. Puncak gunung ini menyerupai Gunung Semeru yang terletak di Kabupaten Lumajang dan konon menurut legenda merupakan penggalan dari puncak Gunung Semeru.

Pendakian ke puncak Gunung Penanggungan kurang lebih memakan waktu sekitar 4 sampai 5 jam, apabila kita tempuh dari jalur Tamiajeng. Sebelum kita mendaki gunung ini, kita wajib lapor dulu di pos perizinan yang letaknya tepat di samping Kampus Ubaya Tretes. Berbeda dengan pos pada umumnya yang ada di jalur pendakian, pos pendakian di sini berupa warung, namanya warung bu Indah, nama dari sang pemilik warung. Untuk biaya retribusi hanya Rp 5.000 per orang.

Setelah semua urusan administratif selesai, kita langsung saja jalan menuju puncak Gunung Penanggungan. Di sepanjang jalur tidak ada sama sekali sumber air, jadi kita harus mempersiapkan pasokan air dari pos perizinan. Udara sangatlah panas di sepanjang jalur ini, apabila kita daki pada siang hari, jadi siap-siap bawa air yang banyak, sebelum Anda terkena dehidrasi.

Di awali dengan kebun tebu dan jagung penduduk, sekitar 30 menit sampai 1 jam kita akan mulai memasuki hutan. Jalanan pun semakin menanjak dan akan banyak menguras tenaga, mengingat udara yang cukup panas dan tanjakan-tanjakan yang tak kenal diskon.

Setelah berjalan hampir lebih tiga jam, kita akan sampai di Puncak Bayangan, tempat di mana para pendaki beristirahat untuk melepas lelah. Sebuah hamparan tanah yang luas cukup untuk beberapa tenda, dengan pemandangan gagah Gunung Arjuno dan Gunung Welirang membuat kaki ini tak ingin beranjak meninggalkan tempat ini. Para pendaki biasanya hanya mendaki sampai di sini saja, dan dilanjutkan keesokan harinya menuju puncak Gunung Penanggungan.

Karena dari sini kita sudah bisa mendapatkan view yang cukup indah apabila cuaca sedang cerah tanpa kabut. Jika malam tiba, kita bisa melihat gemerlap lampu-lampu di Pandaan, Trawas dan Tretes. Hampir di setiap akhir pekan gunung ini tak pernah sepi dari para pendaki, mungkin karena lokasinya yang strategis dan tak seberapa jauh dari kota Surabaya .

Dari Puncak Bayangan menuju Puncak Penanggungan tidaklah seberapa jauh, cukup kurang lebih 1 jam perjalanan, kita sudah akan sampai puncak tertinggi dari puncak Gunung Penanggungan. Jalanan yang amat curam dengan batuan cadas mendominasi sepanjang jalur menuju puncak utama dari Gunung Penanggungan ini. Rasa lelah akan terbayar lunas dengan pemandangan yang begitu indah. Sisi utara punya pemandangan Kota Surabaya dengan Selat Maduranya, sisi Selatan punya hamparan Gunung Arjuna yang bersanding dengan Gunung Welirang. Apabila cuaca sedang bersahabat, kita pun juga akan bisa melihat gunung tertinggi di Pulau Jawa, yaitu Gunung Semeru.

Perjalanan kali ini saya mengambil jalur turun melewati sisi utara, atau jalur Petirtaan Jolotundo, jalur yang lebih panjang dan lama. Namun akan banyak kita jumpai situs purbakala apabila kita mendaki melalui jalur Jolotundo. Hampir sepanjang jalur terdapat situ-situs purbakala peninggalan zaman kerajaan dan peralihan masa Buddha ke Hindu, dari situs peninggalan Kerajaan Airlangga dan Majapahit.

Salah satu situs yang cukup ramai dikunjungi wisatawan ialah situs pemandian Jolotundo, situs pemandian peninggalan zaman Kerajaan Airlangga yang airnya tidak pernah mengering. Konon menurut cerita petugas, air di sumber pemandian Jolotundo ini merupakan air yang terjernih ke-2 di dunia. Itu berdasarkan data seorang peneliti dari Jepang yang sedang melakukan penelitian tentang situs-situs purbakala di sini.








CANDI JALANTUNDO trawas jawa timur

Candi Jalatunda, candi sekaligus patirtan atau pemandian kuno yang dibangun pada tahun 899-977 Masehi. Masih tetap berfungsi dan mengalirkan airnya hingga sekarang. Terletak di kaki gunung Penanggungan tetapnya disisi barat, 7 kilometer dari arah sebelah utara Trawas.

Candi ini hanya satu diantara puluhan candi (konon mencapai 81 candi) yang berserakan sampai ke puncak Gunung Penanggungan.

Pada waktu Kerajaan Mataram Kuno dari wangsa Isana dengan raja bernama Dharmawangsa Teguh (991-1016 Masehi) hancur akibat serangan kerajaan Wurawari dari daerah Banyumas di Hulu Sungai Serayu (Jawa Tengah) dalam tahun 1016 Masehi, menentu raja yang bernama Airlangga beserta istrinya mengungsi ke Wanagiri dengan diiringi Rakryan Narotama sahabat setianya. Setelah Airlangga menjadi raja Mataram (1016-1042) lalu mengundurkan diri menjadi pertapa pada tahun 1042 Masehi dengan nama Resi Gentayu sampai wafat pada tahun 1049 dan dimakamkan di Tirtha, tempat pemandian Jalatunda dekat desa Belahan di sebelah timur Gunung Penanggungan.

Tentang Candi Jalatunda masyarakat sekitarnya percaya bahwa air yang mengalir di pancuran pada patirtan ini adalah amerta (air keabadian) karena berasal dari Gunung Penanggungan yang dianggap sebagi puncak alam semesta, yakni swarloka tempat bersemayamnya para dewa. Anggapan masyarakat ini diperkuat oleh oleh adanya peninggalan Hindu ini dengan adanya arca Wisnu yang berada dibagian tengah pemandian atau pathirtan ini yang dianggap sebagai dewa kesejahteraan manusia. Dalam konsep agama Hindu bahwa Dewa Wisnu selaku dewa pemelihara yang melangsungkan kehidupan alam semesta. Dewa ini mempunyai kendaraan berupa burung garuda bernama suparna. Didalam kitab Rig Weda yang dimaksud suparna adalah atribut matahari yang menunjukkan bahwa asal-usul Wisnu sebagai Dewa Matahari yang memiliki “sakti” atau istri bernama Laksmi atau Sri yakni dewi kebahagiaan. Dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara, penyelenggara dan pelindung dunia digambarkan selalu dalam keadaan siap untuk memberantas marabahaya yang mengancam keselamatan dunia. Dalam upaya mengatasi marabahaya yang merajalela dan kehancuran dunia, maka Wisnu akan turun ke dunia dalam bentuk penjelmaan (awatara) sesuai dengan jenis marabahaya yang ada. Diceritakan ada 10 awatara (dasawatara). Contoh, awatara ke-10 yang konon belum terjadi Wisnu turun ke dunia menjelma sebagai Kalki-awatara ketika dunia akan mengalami suasana yang kacau balau tanpa diatasi, sehingga keselamatan dunia terancam akan kemusnahan. Dalam situasi yang demikian Wisnu akan turun dan menjelma ke dunia sebagai Kalki dengan mengendarai kuda putih bersenjatakan pedang yang terhunus. Kemudian Kalki dengan segala kemampuannya menyelamatkan, menegakkan kembali keadilan dan kesejahteraan dunia beserta isinya.

Masyarakat di Mojokerta dan sekitarnya juga percaya bahwa air di Jalatunda itu air yang bertuah. Menurut mitos yang berkembang orang yang minum dan mandi dari jaladwara (pancuran air) itu dapat membuat orang jadi awet muda dan bisa membebaskan dirinya dari pikiran yang kacau.

Masyarakat Hindu Bali hingga kini masih sering melalukan upacara untuk membersihkan diri dari dosa pada hari-hari tertentu di Patirtan Jalatunda. Bahkan ada yang membawa tirta amerta (air keabadian) ini dibawa ke Bali untuk upacara keagamaan.










cs :https://www.couchsurfing.org/profile.html?id=5HGH60EVU
  Supported byFLIGHT 001 Gandaria City | Plaza Indonesia
 https://www.facebook.com/Flight001Asia


Jumat, 26 April 2013

gunung panderman

Satu lagi gunung yang berada di kota Batu, Gunung Panderman. Gunung ini terkenal juga di negeri Belanda, karena nama Panderman diambil dari nama seorang Belanda Van Der Man, yang mengagumi keindahan gunung tersebut pada masanya.
Gunung Panderman memiliki tinggi 2000 meter dari permukaan laut. Bagi mereka yang suka akan tantangan dan kegiatan di luar ruangan, dibutuhkan waktu 3 jam untuk mendaki puncak gunung tersebut, dan bisa diakses melaui kota Batu.

Pos pemberhentian pertama saat akan menuju ke Gunung Panderman adalah kawasan Latar Ombo, yaitu sebuah kawasan untuk bumi perkemahan. Pos pemberhentian kedua setelah Latar Ombo adalah kawasan Watu Gede. Dinamakan Watu Gede karena terdapat sebuah Batu Besar di kawasan ini, dan pengunjung bisa menikmati suasana yang sejuk dan pemandangan yang indah kota Malang dan Batu.